Kisah
yang saya tulis ini adalah kisah yang dialami istri saat melahirkan anak kami
yang pertama. Saya tulis sesuai dengan apa yang dia tuturkan kepada saya.
“Tekanan
darahnya tinggi sekali bu…140/90.” dr. Indrarta melepas alat pengukur tekanan
darah dari lenganku, “Kalau naik lagi, operasi ya…”
-----
Break : Ingin melihat liputan live Masjidil Haram klik disini
----
-----
Break : Ingin melihat liputan live Masjidil Haram klik disini
----
Aku
turun dari ranjang periksa dan duduk di sebelah mas Dian, suamiku yang
memandangiku khawatir. Sejak kehamilan tujuh bulan, tekanan darahku cenderung
tinggi. Saat itu adalah periksa kehamilan untuk bulan kedelapan. Sambil
mencoret-coret (aku lebih suka menggunakan istilah mencoret daripada menulis)
resep, dr. Indrarta menerangkan kepada kami bahwa gejala fisik yang aku alami
menunjukkan gejala awal keracunan bayi.
”Keracunan bayi itu maksudnya apa dok?” Mas Dian menunggu jawaban dengan pandangan cemas.
Dokter Indrarta menjelaskan bahwa keracunan bayi adalah reaksi tubuh seorang ibu yang tidak bisa menerima bayi yang dikandungnya. Gejala awalnya berupa kaki yang bengkak dan tekanan darah tinggi. Bila tekanan darah terus naik, maka akan menyebabkan kejang-kejang yang berakibat fatal bagi jiwa sang ibu. Mendengar jawaban dokter, mas Dian tampak semakin cemas.
”Keracunan bayi itu maksudnya apa dok?” Mas Dian menunggu jawaban dengan pandangan cemas.
Dokter Indrarta menjelaskan bahwa keracunan bayi adalah reaksi tubuh seorang ibu yang tidak bisa menerima bayi yang dikandungnya. Gejala awalnya berupa kaki yang bengkak dan tekanan darah tinggi. Bila tekanan darah terus naik, maka akan menyebabkan kejang-kejang yang berakibat fatal bagi jiwa sang ibu. Mendengar jawaban dokter, mas Dian tampak semakin cemas.
Kami
pulang naik motor sambil diam sepanjang perjalanan. Sebenarnya sejak awal
kehamilan aku sudah stres membayangkan proses persalinan yang menyakitkan.
Semakin mendekati waktu melahirkan hatiku semakin kalut, ketakutan. Entah
kenapa segala nasihat dari ibuku, ibu mertua, dan beberapa orang yang
berpengalaman melahirkan, bahwa proses persalinan itu sakit tetapi indah dan
tidak perlu ditakuti, tidak bisa menenangkanku. Yang terbayang hanyalah
kesakitan yang akan aku alami saat berusaha mengeluarkan bayiku melalui jalan
lahir.
Sesampai di rumah, setelah berganti baju, aku merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata. Seperti tahu apa yang berkecamuk di kepala dan hatiku, dengan pandangan cemas mas Dian duduk di sebelahku dan membelai kepalaku, ”Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, Dik...Pasrahkan saja semua kepada Allah.”
Sesampai di rumah, setelah berganti baju, aku merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata. Seperti tahu apa yang berkecamuk di kepala dan hatiku, dengan pandangan cemas mas Dian duduk di sebelahku dan membelai kepalaku, ”Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, Dik...Pasrahkan saja semua kepada Allah.”
Aku
hanya tersenyum, tetapi dalam hati aku nggerundel, ”Enak aja kalau ngomong. Mas
Dian nggak merasakan dan tidak akan pernah bisa merasakan yang aku alami dan
akan aku alami sich..!”
Tanggal sebelas November tahun 1998, hari prediksi waktuku melahirkan. Dini hari aku merasa seperti ngompol, banyak sekali cairan yang keluar. Aku sampaikan ke ibuku yang sudah dua minggu ini menginap di rumahku dan selalu menemaniku tidur. Memang terasa lain, saat-saat seperti ini, saat menunggu sesuatu yang menakutkan, bila ditemani ibu hatiku sedikit lebih tenang. Ibuku mengatakan bahwa air ketubanku sudah pecah dan sudah waktunya melahirkan. Aku segera membersihkan diri, berwudlu dan Sholat shubuh. Tas perbekalan sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Setelah Sholat subuh, aku, ibu, dan adikku berangkat ke Rumah Sakit Asrama Haji Sukolilo, sementara mas Dian menyusul naik motor.
Sesampai
di Rumah Sakit, aku langsung masuk ke ruangan bersalin. Sayang sekali,
kebijakan Rumah Sakit melarang selain yang akan melahirkan memasuki ruangan.
Ibu, adik dan mas Dian harus menunggu di luar. Ruangan bersalin berupa ruangan
besar yang terdiri dari beberapa ranjang yang disekat kelambu putih satu sama
lain. Saat aku masuk, sudah ada beberapa ibu hamil yang berbaring di ranjang.
”Baru
pembukaan tiga, bu, dipakai jalan-jalan saja biar cepat pembukaannya.” Aku
turun dari ranjang dan jalan-jalan mengitari ranjang.
Terdengar
teriakan kesakitan dari seorang ibu tak jauh dari tempatku berdiri. Penasaran
aku mengintip, rupanya dia sedang dalam proses melahirkan. Dua suster
mendampinginya di kiri dan kanan, menuntunnya mengatur pernafasan dan
membersihkan keringatnya, sementara seseorang yang kukira seorang dokter
menuntunnya dari sela-sela kakinya. Setelah mengerang, menjerit beberapa kali,
akhirnya bayi mungil lahir. Aku ikut senang menyaksikannya, tetapi
teriakan-teriakan kesakitan yang mengiringi lahirnya bayi membuatku semakin
ketakutan. Keringat dingin membasahi muka dan telapak tanganku. Aku terduduk di
pinggir ranjang. Kuusap-usap perut buncitku yang sudah terasa sakit sejak masuk
ruangan. Di dalamnya terdapat makhluk mungil, makhluk yang sangat ingin segera
kulihat wujudnya. Ciptaan Allah yang berkembang selama sembilan bulan di dalam
tubuhku. Makan makanan yang kumakan. Membayangkan kelak mulut mungilnya
memanggilku ibu menghasilkan perasaan lain di hatiku. Perlahan perutku terasa
hangat meskipun sakitnya tidak berkurang bahkan bertambah. Kehangatan dari
perut menjalar ke seluruh tubuhku. Membayangkan akan menjadi seorang ibu,
menjadi tumpuan kasih sayang seorang anak, mendatangkan ketegaran di hatiku,
dan ketenangan. Dalam ketenangan aku teringat pesan mas Dian bahwa dalam
keadaan sulit sebaiknya membaca “Laa haula wala quwwata Illa billa hil ‘aliyyil
Adziim”. Akupun mulai berdzikir, dan pelan tapi pasti ketenangan di hatiku
semakin menguat, dan kekhawatiran berangsur memudar.
Tanggal sebelas November tahun 1998, sekitar jam dua belas siang pembukaanku sudah lengkap. Sakit perut yang kurasakan adalah kesakitan yang amat sangat yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti yang dialami oleh beberapa ibu yang sudah melahirkan sejak pagi tadi, aku juga didampingi oleh beberapa suster dan Dr. Indrarta. Aku membayangkan betapa bahagianya bila mas Dian dan ibuku juga boleh mendampingiku.
Tanggal sebelas November tahun 1998, sekitar jam dua belas siang pembukaanku sudah lengkap. Sakit perut yang kurasakan adalah kesakitan yang amat sangat yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti yang dialami oleh beberapa ibu yang sudah melahirkan sejak pagi tadi, aku juga didampingi oleh beberapa suster dan Dr. Indrarta. Aku membayangkan betapa bahagianya bila mas Dian dan ibuku juga boleh mendampingiku.
Dua
jam sudah sejak pembukaanku lengkap, anakku tak kunjung mau keluar. Cairan
ketubanku sudah habis, dan darah juga sudah banyak keluar. Tenagaku semakin
habis, lemas. Aku benar-benar merasa pasrah kepada Allah. Bagiku sekarang hanya
kuasa Allah yang bisa membantuku. Sambil mengusap peluh di keningnya, Dr. Indrarta
keluar meninggalkan ruangan. Di kemudian hari aku tahu bahwa Dr. Indrarta
keluar untuk meminta tanda tangan Mas Dian untuk izin melakukan operasi.
Sekembalinya ke ruangan, Dr. Indrarta memberikan instruksi ke para perawat yang
tidak bisa kudengar, kemudian mendekatiku, “ Sudah Bu, terlalu banyak darah
yang keluar, saya tidak mau ambil resiko, bayinya harus dikeluarkan lewat
atas.” Aku mengangguk lemas. Aku benar-benar pasrah. Aku ikhlas bila memang
saat itu sudah waktunya Allah memanggilku. Hanya aku sangat berharap Allah memberi kesempatan anakku terlahir ke dunia dan menikmati kehidupan. Dan aku
bisa melihatnya meskipun sebentar. Aku dipindahkan dari ruang bersalin ke ruang
operasi. Di luar mas Dian sempat menghampiriku, memandangku dengan tatapan cemas
dan penuh harap, “Tawaqqal Dik…” Aku hanya mengangguk lemas.
Di
ruang operasi sudah siap beberapa perangkat operasi. Dari dada ke bawah aku
ditutupi kain sehingga aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan dokter.
Setelah obat bius lokal bekerja, operasi dimulai. Kira-kira empat puluh lima
menit kemudian anakku berhasil dikeluarkan.
“Laki-laki,
Bu, sehat dan normal...” Seorang suster menunjukkan seorang bayi yang masih
belepotan darah. Mendengar bahwa anakku berhasil terlahir dengan sehat dan
normal, aku merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Aku meneteskan air mata
haru, betapa cintanya ALLOH kepadaku. Kebahagiaan yang tidak ternilai, bahkan
bila dibandingkan dengan ketidaknyamanan, kekhawatiran, ketakutan, kesakitan
yang kurasakan sejak awal kehamilan sampai melahirkan, semuanya tidak ada
artinya, terhapus oleh kebahagian yang melimpah ruah.
Terima kasih ya Allah. Kau jadikan aku seorang ibu...
Terima kasih ya Allah. Kau jadikan aku seorang ibu...
Mohon
bimbingan dan petunjuk-MU agar aku bisa memegang amanah mendidiknya menjadi
anak yang sholih.
Sumber :
herlanlesmana26.blogspot.com
Dari Kisah Nyata_ NM.
Dian dan Wulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar