Mutiara Ibu

Persembahan dan doa khusus buat ibu ... mutiara hidupku Allahumagfirli waliwalidaya warhamhuma kamma robayani sughara. Amin!


(1) Buat yang sedang Lupa Kepada Ibu
Anakku,…
Bila ibu boleh memilih
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar karena mengandungmu
Maka ibu akan memilih mengandungmu…
Karena dalam mengandungmu ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah
Sembilan bulan nak,… engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemanapun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak karena kebahagiaan
Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa tidak nyaman, karena ibu kecewa dan berurai air mata…

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih apakah ibu harus operasi cesar, atau ibu harus berjuang melahirkanmu
Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu
Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga
Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari jalan ke luar ke dunia sangat ibu rasakan
Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita berdua
Malaikat tersenyum diantara peluh dan erangan rasa sakit,
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun
Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia
Saat itulah… saat paling membahagiakan
Segala sakit dan derita sirna melihat dirimu yang merah,
Mendengarkan ayahmu mengumandangkan adzan,
Kalimat syahadat kebesaran Allah dan penetapan hati tentang junjungan kita Rasulullah di telinga mungilmu

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih apakah ibu berdada indah, atau harus bangun tengah malam untuk menyusuimu,
Maka ibu memilih menyusuimu,
Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang sangat berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu didada ibu dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain tidak bisa rasakan

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih duduk berlama-lama di ruang rapat
Atau duduk di lantai menemanimu bermain menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu

Tetapi anakku…
Hidup memang pilihan…
Jika dengan pilihan ibu, engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak…
Maafkan ibu…
Maafkan ibu…
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle kehidupan kita,
Agar tidak ada satu kepingpun bagian puzzle kehidupan kita yang hilang
Percayalah nak…
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak…
Engkau adalah selalu menjadi belahan nyawa ibu…

(2) Hadiah Cinta Seorang Ibu

"Boleh .... saya melihat bayi saya?" desak seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinyapun segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa dua belah daun telinga!

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."

Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya dibidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan,"Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?"

Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya. Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya.

"Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter.

Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka.

Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia." kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."

Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah .... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun didalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.


(3) Ibumu …



“Ibumu telah mengandungmu didalam perutnya selama sembilan bulan seolah – olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.
Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya 
yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
Tatkala ibumu membutuhkanmu disa’at dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu. 

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu. Padahal Allah telah melarangmu berkata ” ah ” dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.
Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul’aalamin.”


Sumber : Al-Kabair


(4) Surat Dari Ibu Yang Terkoyak Hatinya

Anakku…. Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. 
Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya. Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami. Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu. 

Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru. Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku. Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku… Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?


Anakku.. Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,


Anakku… Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…


Anakku… Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.


Anakku.. Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.


Anakku… Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”. Anakku… Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111] 


Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.



Diadaptasi dari Idatush Shabirin


(5) TERIMA KASIH KAU JADIKAN AKU IBU

Kisah yang saya tulis ini adalah kisah yang dialami istri saat melahirkan anak kami yang pertama. Saya tulis sesuai dengan apa yang dia tuturkan kepada saya.
“Tekanan darahnya tinggi sekali bu…140/90.” dr. Indrarta melepas alat pengukur tekanan darah dari lenganku, “Kalau naik lagi, operasi ya…”
Aku turun dari ranjang periksa dan duduk di sebelah mas Dian, suamiku yang memandangiku khawatir. Sejak kehamilan tujuh bulan, tekanan darahku cenderung tinggi. Saat itu adalah periksa kehamilan untuk bulan kedelapan. Sambil mencoret-coret (aku lebih suka menggunakan istilah mencoret daripada menulis) resep, dr. Indrarta menerangkan kepada kami bahwa gejala fisik yang aku alami menunjukkan gejala awal keracunan bayi.
”Keracunan bayi itu maksudnya apa dok?” Mas Dian menunggu jawaban dengan pandangan cemas.
Dokter Indrarta menjelaskan bahwa keracunan bayi adalah reaksi tubuh seorang ibu yang tidak bisa menerima bayi yang dikandungnya. Gejala awalnya berupa kaki yang bengkak dan tekanan darah tinggi. Bila tekanan darah terus naik, maka akan menyebabkan kejang-kejang yang berakibat fatal bagi jiwa sang ibu. Mendengar jawaban dokter, mas Dian tampak semakin cemas.
Kami pulang naik motor sambil diam sepanjang perjalanan. Sebenarnya sejak awal kehamilan aku sudah stres membayangkan proses persalinan yang menyakitkan. Semakin mendekati waktu melahirkan hatiku semakin kalut, ketakutan. Entah kenapa segala nasihat dari ibuku, ibu mertua, dan beberapa orang yang berpengalaman melahirkan, bahwa proses persalinan itu sakit tetapi indah dan tidak perlu ditakuti, tidak bisa menenangkanku. Yang terbayang hanyalah kesakitan yang akan aku alami saat berusaha mengeluarkan bayiku melalui jalan lahir.
Sesampai di rumah, setelah berganti baju, aku merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata. Seperti tahu apa yang berkecamuk di kepala dan hatiku, dengan pandangan cemas mas Dian duduk di sebelahku dan membelai kepalaku, ”Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, Dik...Pasrahkan saja semua kepada Allah.”
Aku hanya tersenyum, tetapi dalam hati aku nggerundel, ”Enak aja kalau ngomong. Mas Dian nggak merasakan dan tidak akan pernah bisa merasakan yang aku alami dan akan aku alami sich..!”

Tanggal sebelas November tahun 1998, hari prediksi waktuku melahirkan. Dini hari aku merasa seperti ngompol, banyak sekali cairan yang keluar. Aku sampaikan ke ibuku yang sudah dua minggu ini menginap di rumahku dan selalu menemaniku tidur. Memang terasa lain, saat-saat seperti ini, saat menunggu sesuatu yang menakutkan, bila ditemani ibu hatiku sedikit lebih tenang. Ibuku mengatakan bahwa air ketubanku sudah pecah dan sudah waktunya melahirkan. Aku segera membersihkan diri, berwudlu dan Sholat shubuh. Tas perbekalan sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Setelah Sholat subuh, aku, ibu, dan adikku berangkat ke Rumah Sakit Asrama Haji Sukolilo, sementara mas Dian menyusul naik motor.
Sesampai di Rumah Sakit, aku langsung masuk ke ruangan bersalin. Sayang sekali, kebijakan Rumah Sakit melarang selain yang akan melahirkan memasuki ruangan. Ibu, adik dan mas Dian harus menunggu di luar. Ruangan bersalin berupa ruangan besar yang terdiri dari beberapa ranjang yang disekat kelambu putih satu sama lain. Saat aku masuk, sudah ada beberapa ibu hamil yang berbaring di ranjang.
”Baru pembukaan tiga, bu, dipakai jalan-jalan saja biar cepat pembukaannya.” Aku turun dari ranjang dan jalan-jalan mengitari ranjang.
Terdengar teriakan kesakitan dari seorang ibu tak jauh dari tempatku berdiri. Penasaran aku mengintip, rupanya dia sedang dalam proses melahirkan. Dua suster mendampinginya di kiri dan kanan, menuntunnya mengatur pernafasan dan membersihkan keringatnya, sementara seseorang yang kukira seorang dokter menuntunnya dari sela-sela kakinya. Setelah mengerang, menjerit beberapa kali, akhirnya bayi mungil lahir. Aku ikut senang menyaksikannya, tetapi teriakan-teriakan kesakitan yang mengiringi lahirnya bayi membuatku semakin ketakutan. Keringat dingin membasahi muka dan telapak tanganku. Aku terduduk di pinggir ranjang. Kuusap-usap perut buncitku yang sudah terasa sakit sejak masuk ruangan. Di dalamnya terdapat makhluk mungil, makhluk yang sangat ingin segera kulihat wujudnya. Ciptaan Allah yang berkembang selama sembilan bulan di dalam tubuhku. Makan makanan yang kumakan. Membayangkan kelak mulut mungilnya memanggilku ibu menghasilkan perasaan lain di hatiku. Perlahan perutku terasa hangat meskipun sakitnya tidak berkurang bahkan bertambah. Kehangatan dari perut menjalar ke seluruh tubuhku. Membayangkan akan menjadi seorang ibu, menjadi tumpuan kasih sayang seorang anak, mendatangkan ketegaran di hatiku, dan ketenangan. Dalam ketenangan aku teringat pesan mas Dian bahwa dalam keadaan sulit sebaiknya membaca “Laa haula wala quwwata Illa billa hil ‘aliyyil Adziim”. Akupun mulai berdzikir, dan pelan tapi pasti ketenangan di hatiku semakin menguat, dan kekhawatiran berangsur memudar.

Tanggal sebelas November tahun 1998, sekitar jam dua belas siang pembukaanku sudah lengkap. Sakit perut yang kurasakan adalah kesakitan yang amat sangat yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti yang dialami oleh beberapa ibu yang sudah melahirkan sejak pagi tadi, aku juga didampingi oleh beberapa suster dan Dr. Indrarta. Aku membayangkan betapa bahagianya bila mas Dian dan ibuku juga boleh mendampingiku.
Dua jam sudah sejak pembukaanku lengkap, anakku tak kunjung mau keluar. Cairan ketubanku sudah habis, dan darah juga sudah banyak keluar. Tenagaku semakin habis, lemas. Aku benar-benar merasa pasrah kepada Allah. Bagiku sekarang hanya kuasa Allah yang bisa membantuku. Sambil mengusap peluh di keningnya, Dr. Indrarta keluar meninggalkan ruangan. Di kemudian hari aku tahu bahwa Dr. Indrarta keluar untuk meminta tanda tangan Mas Dian untuk izin melakukan operasi. Sekembalinya ke ruangan, Dr. Indrarta memberikan instruksi ke para perawat yang tidak bisa kudengar, kemudian mendekatiku, “ Sudah Bu, terlalu banyak darah yang keluar, saya tidak mau ambil resiko, bayinya harus dikeluarkan lewat atas.” Aku mengangguk lemas. Aku benar-benar pasrah. Aku ikhlas bila memang saat itu sudah waktunya Allah memanggilku. Hanya aku sangat berharap Allah memberi kesempatan anakku terlahir ke dunia dan menikmati kehidupan. Dan aku bisa melihatnya meskipun sebentar. Aku dipindahkan dari ruang bersalin ke ruang operasi. Di luar mas Dian sempat menghampiriku, memandangku dengan tatapan cemas dan penuh harap, “Tawaqqal Dik…” Aku hanya mengangguk lemas.
Di ruang operasi sudah siap beberapa perangkat operasi. Dari dada ke bawah aku ditutupi kain sehingga aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan dokter. Setelah obat bius lokal bekerja, operasi dimulai. Kira-kira empat puluh lima menit kemudian anakku berhasil dikeluarkan.
“Laki-laki, Bu, sehat dan normal...” Seorang suster menunjukkan seorang bayi yang masih belepotan darah. Mendengar bahwa anakku berhasil terlahir dengan sehat dan normal, aku merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Aku meneteskan air mata haru, betapa cintanya ALLOH kepadaku. Kebahagiaan yang tidak ternilai, bahkan bila dibandingkan dengan ketidaknyamanan, kekhawatiran, ketakutan, kesakitan yang kurasakan sejak awal kehamilan sampai melahirkan, semuanya tidak ada artinya, terhapus oleh kebahagian yang melimpah ruah.
Terima kasih ya Allah. Kau jadikan aku seorang ibu...
Mohon bimbingan dan petunjuk-MU agar aku bisa memegang amanah mendidiknya menjadi anak yang sholih.

Sumber : herlanlesmana26.blogspot.com
Dari Kisah Nyata_ NM. Dian dan  Wulan




(6) USIAKU DAN SIKAPKU KEPADA IBU

Umur   5 tahun  : Aku sayang ibu....
Umur 12 Tahun : Ibu ketinggalan jaman....
Umur 15 Tahun : Aku sudah besar Ibu....
Umur 17 Tahun : Aku membenci Ibu !!
Umur 20 Tahun : Aku tidak butuh saran mu Ibu....
Umur 25 Tahun : Mungkin Ibu bisa membantu....
Umur 35 Tahun : Aku ingin menemui Ibu....
Umur 50 Tahun : Aku harap Ibu masih berada disini ;

Sayangilah  Ibumu,…..sebelum menyesal







(6a). Kasih Sayang Seorang Ibu
                                               
                                                       
Saat kau berumur 15 tahun, dia pulang kerja ingin memelukmu.
Sebagai balasannya, kau kunci pintu kamarmu.

Saat kau berumur 16 tahun, dia ajari kau mengemudi mobilnya.
Sebagai balasannya, kau pakai mobilnya setiap ada kesempatan
tanpa peduli kepentingannya.

Saat kau berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telepon yang
penting. Sebagai balasannya, kau pakai telepon nonstop
semalaman.

Saat kau berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kau
lulus SMA. Sebagai balasannya, kau berpesta dengan temanmu
hingga pagi.

Saat kau berumur 19 tahun, dia membayar biaya kuliahmu dan
mengantarmu ke kampus pada hari pertama. Sebagai balasannya,
kau minta diturunkan jauh daripintu gerbang agar kau tidak
malu di depan teman-temanmu.

Saat kau berumur 20 tahun, dia bertanya, "Dari mana saja
seharian ini?". Sebagai balasannya, kau jawab,"Ah Ibu cerewet
amat sih, ingin tahu urusan orang!"

Saat kau berumur 21 tahun, dia menyarankan satu pekerjaan
yang bagus untuk karirmu di masa depan. Sebagai balasannya,
kau katakan,"Aku tidak ingin seperti Ibu."

Saat kau berumur 22 tahun, dia memelukmu dengan haru saat
kau lulus perguruan tinggi. Sebagai balasannya, kau tanya dia
kapan kau bisa ke Bali.

Saat kau berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1 set furniture
untuk rumah barumu. Sebagai balasannya, kau ceritakan pada
temanmu betapa jeleknya furniture itu.

Saat kau berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan
bertanya tentang rencananya di masa depan. Sebagai balasannya,
kau mengeluh,"Bagaimana Ibu ini, kok bertanya seperti itu?"

Saat kau berumur 25 tahun, dia mambantumu membiayai penikahanmu.
Sebagai balasannya, kau pindah ke kota lain yang jaraknya lebih
dari 500 km.

Saat kau berumur 30 tahun, dia memberikan beberapa nasehat
bagaimana merawat bayimu. Sebagai balasannya, kau katakan
padanya,"Bu, sekarang jamannya sudah berbeda!"

Saat kau berumur 40 tahun, dia menelepon untuk memberitahukan
pesta ulang tahun salah seorang kerabat. Sebagai balasannya,
kau jawab,"Bu, saya sibuk sekali, nggak ada waktu."

Saat kau berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlu-
kan perawatanmu. Sebagai balasannya, kau baca tentang pengaruh
negatif orang tua yang menumpang tinggal di rumah anak-anaknya.

Dan hingga suatu hari, dia meninggal dengan tenang. Dan tiba-
tiba kau teringat semua yang belum pernah kau lakukan, karena
mereka datang menghantam HATI mu bagaikan palu godam.

JIKA BELIAU MASIH ADA, JANGAN LUPA MEMBERIKAN KASIH SAYANGMU
LEBIH DARI YANG PERNAH KAU BERIKAN SELAMA INI DAN JIKA BELIAU
SUDAH TIADA, INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TULUS
TANPA SYARAT KEPADAMU





(6b). Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya.Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas  dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.





(7)Sepucuk Surat Dari Bunda Untuk Anakku

Menjumpai Anakku…
Apa kabar, anakku? Sehatkah engkau hari ini? Sudah makan kah engkau, sayang? Masih ingatkah engkau pantangan apa saja yang tidak boleh engkau makan, Nak? Bunda berharap kau selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Kuasa.

Anakku…
Hari ini kau tidak ada di rumah, tadi engkau pamit kepada Bunda untuk pergi mengikuti les, tapi hari ini Bunda rindu sekali denganmu. Hari ini, ketika kau tidak ada, Bunda teringat dengan masa-masa engkau mulai tertanam di rahim Bunda sampai dengan engkau dewasa sekarang.

Anakku sayang…
Jauh sebelum kau hadir dalam kehidupan Ayah dan Bunda, kami selalu berharap dan berdo’a agar nantinya dikaruniai anak-anak yang baik, taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbakti kepada orang tua, serta menjadi seorang ummat yang berguna untuk agama dan bangsa.

Anakku sayang…
Ingatkah engkau, di bulan-bulan awal kau di perut Bunda, mual dan muntah menjadi rutinitas Bunda, juga sakit kepala bahkan hingga mau pingsan. Namun Bunda tahu, ini titipan dari Yang Mahakuasa, Bunda tidak boleh mengeluhkan kehadiranmu, bahkan Bunda bersyukur karena diberi kepercayaan untuk melahirkan mu ke dunia.

Anakku…
Sembilan bulan sepuluh hari kau mendiami perut Bunda, akhirnya kau melihat dunia. Betapa senangnya hati Bunda saat itu, mengalahkan rasa sakit yang amat sangat, antara hidup dan mati. Alhamdulillah kau lahir dengan selamat.
Ketika kau mulai mengisi ruang-ruang kesepian di rumah dengan tangisanmu, teriakanmu, tawamu, sungguh, Bunda tak akan pernah melupakan itu. Suara tangismu di tengah malam tidak pernah membuat Bunda mengeluh karena kurang tidur. Membersihkan popokmu tidak pernah membuat Bunda mengeluh apalagi merasa jijik. Semua Bunda lakukan karena Bunda sayang kepadamu, Nak.
Menjelang kau masuk ke dunia sekolah, semua perlengkapan sekolahmu Bunda siapkan dengan baik agar kau dapat belajar dengan tenang. Masih terekam dengan baik di kepala Bunda, kau menangis saat Bunda akan meninggalkanmu di hari pertama kau masuk sekolah. Kau ingin Bunda selalu menemanimu di sekolah.
Menginjak usia remaja, kau sudah banyak teman. Jarang sekali kau ada di rumah karena banyaknya kegiatan yang kau lakukan di sekolah, ada les, eks-kul, atau sekedar berkumpul dengan teman-temanmu. Bunda mulai merasa kehilangan mu. Apakah kau sudah bosan berada di rumah?
Saat ini aktivitasmu semakin bertambah, kehadiranmu di rumah mungkin hanya terlihat saat sarapan pagi, itu pun kau lakukan jika kau tidak terburu-buru berangkat ke luar rumah. terkadang, terkadang kau lupa mencium tangan Bunda ketika kau keluar melewati pintu rumah. Benarkah ini anak Bunda?
Dengan aktivitasmu yang banyak terkadang kau lupa bahwa kau masih punya rumah, kau lebih sering pergi keluar rumah bahkan menginap di rumah temanmu. Pernah Bunda bertanya kemana kau hendak pergi, kau menjawabnya dengan ketus, seolah-olah Bunda tak perlu tahu urusanmu.
Ketika Bunda menasehatimu, kau malah pergi begitu saja meninggalkan Bunda yang sedang bicara. Ketika kau pulang larut malam, Bunda sangat khawatir dan bertanya kemana saja kau pergi seharian, kau tak menggubris kata-kata Bunda, kau langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Inikah anak Bunda yang dulu begitu manis?
Beberapa kali Bunda pernah memarahimu saat kau melakukan kesalahan, namun kau malah balik memarahi Bunda dan menganggap itu bukan kesalahanmu. Bunda marah karena ingin kau bisa belajar dari kesalahan, Bunda marah karena sayang kepadamu, Nak, sama sekali bukan karena benci.

Anakku sayang…
pagi ini, Bunda ingin sekali kau ada di samping Bunda seperti dulu waktu kau masih kecil. Kau selalu bersama Bunda kemanapun Bunda pergi, karena kau masih belum bisa berjalan. Kau selalu mendengarkan kata-kata Bunda karena kau belum bisa bicara. Rasanya Bunda ingin kau yang kecil saja, agar selalu bersama Bunda dan mendengar kata-kata Bunda, tanpa bantahan dan cacian.

Anakku sayang…
Surat cinta ini, sengaja Bunda tulis untukmu seorang. Bunda sangat menyayangimu.
Peluk cium sayang untukmu… Bunda




(8). Utang Ibu


Suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur. Ia menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya. Setelah sang ibu mengeringkan tangannya dengan celemek. Ia pun membaca tulisan itu dan inilah isinya:
Untuk memotong rumput Rp. 5000
Untuk membersihkan kamar tidur minggu ini Rp. 5000
Untuk pergi ke toko disuruh ibu Rp. 3000
Untuk menjaga adik waktu ibu belanja Rp. 5000
Untuk membuang sampah Rp. 1000
Untuk nilai yang bagus Rp. 3000
Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp. 3000
Jadi jumlah utang ibu adalah Rp. 25000

Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh harap. Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang ibu. Lalu ia mengambil pulpen, membalikkan kertasnya. Dan inilah yang ia tuliskan:

Untuk sembilan bulan ibu mengandung kamu, gratis
Untuk semua malam ibu menemani kamu, gratis
Untuk membawamu ke dokter dan mengobati saat kamu sakit, serta mendoakan kamu, gratis
Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurus kamu, gratis
Kalau dijumlahkan semua, harga cinta ibu adalah gratis
Untuk semua mainan, makanan, dan baju, gratis
Anakku… dan kalau kamu menjumlahkan semuanya,
Akan kau dapati bahwa harga cinta ibu adalah GRATIS

Seusai membaca apa yang ditulis ibunya, sang anak pun berlinang air mata dan menatap wajah ibunya, dan berkata: “Bu, aku sayang sekali sama ibu” ia kemudian mendekap ibunya. Sang ibu tersenyum sambil mencium rambut buah hatinya.”Ibupun sayang kamu nak” kata sang ibu.

======

Sahabat, seberapapun jasa yang telah kita berikan kepada ibu, seberapapun uang yang kita dapatkan dan kita berikan kepada ibu, atau seberapapun liter keringat kerja yang kita kumpulkan untuk ibu, tidak akan dapat mengganti kasih sayang seorang ibu. Kasih ibu sepanjang masa. dapatkah kita menukar kasih sayang ibu itu dengan materi? menukar dengan bilangan angka?atau menukar dengan rangkaian kata terima kasih  sepanjang Salatiga – Roma? Tidak sahabat, sama sekali tidak bisa. Oleh karenanya sahabatku, Berbuat baiklah kepadanya, sayangilah beliau, cintailah beliau, dan doakanlah beliau….
Sahabat, kita beruntung masih diberi kesempatan untuk mencium tangannya, mencium pipinya, memijit kakinya, membuatkan minuman untuknya dan menunjukkan sayang kita kepadanya.  semoga kita dapat terus melayani beliau, di dunia ini, maupun di surga nanti. amin…

Sumber :  resensi.net



(9), Sudahkah kita memberi sesuatu buat  ibu.? 

Saat senang aku cari pasanganku Saat sedih aku cari ibu
Saat sukses aku ceritakan pada pasanganku Saat gagal aku ceritakan pada ibu
Saat bahagia aku peluk erat pasanganku Saat sedih aku peluk erat ibuku
Saat liburan aku bawa pasanganku Saat aku sibuk, anak dianter ke rumah ibu Saat sambut ulang tahun, aku slalu beri hadiah pada pasangan
Saat sambut hari ibu, aku cuma ucapkan "Selamat Hari Ibu " Selalu aku ingat pasanganku Selalu ibu yg ingat aku
Setiap saat aku akan telpon pasanganku Kalau inget saja aku akan telpon ibu
Selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku Entah kapan aku akan belikan hadiah untuk ibu

Renungkanlah :  "Kalau kamu sudah gajian saat berkerja, sudahkah kamu kirim uang untuk ibu ..?" Ibu tidak minta banyak... lima puluh sebulan pun "cukuplah". Berderai air mata jika kita mendengarnya.
Tapi kalau ibu sudah tiada, Ibu aku RINDU....... AKU RIIINDDUU... SANGAT RINDU IBU

Berapa banyak yang sanggup menyuapkan ibunya dikala beliau sakit ....?
Berapa banyak yang sanggup mengelap muntah ibunya....?
Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibunya .....?
Berapa banyak yang sanggup membuang nanah dan membersihkan luka ibunya ..?
Berapa banyak yang sanggup cuti kerja untuk menjaga ibunya yg sedang sakit ...?
Dan berapa banyak yang menshalati JENAZAH ibunya......?

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci..


Sumber....http://winduaguss.blogspot.com




(10). Tanganmu bergetar Ibu...

Tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, meskipun itu ibu saya. Saya bukanlah orang yang sabar. Tapi, kami putuskan juga berangkat ke pusat perbelanjaan tersebut. Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita. Dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah, gelisah, dan ibu mulai frustasi.

Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik, terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya. Dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian. Biar semuanya cepat beres. Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.

Ternyata, Tuhan..., tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi. Dan ibu dia tidak dapat menalikan gaun itu. Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang begitu dalam kepadanya. Dada saya sesak, napas saya panas. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Saya terisak.

Setelah mendapatkan ketenangan, saya kembali masuk ke kamar ganti, dan menahan tangis melihat gemetar tangan ibu, membantunya mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan ibu membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut, dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Tangan yang gemetar....

Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya. Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya.... Dan yang membuatnya terkejut. Saya mengatakan pada ibu, kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. 

Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri, keindahan tangan Ibu....