Rabu, 26 November 2008

Membedah pendidikan kita

Segala upaya mengubah memperbaharui, membangun pendidikan kembali di Indonesia sudah dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka. Hasilnya seperti kita lihat semua, memprihatinkan. Berbagai teori dan konsep, dari periode menteri ke menteri (baca = menteri pendidikan) lebih bersifat lip service saja. Bukan pejabat pendidikan kalau tidak mempunyai konsep perubahan. Jadilah pendidikan bangsa ini menjadi korban pelaksanaan dari satu konsep ke konsep lain. Tidak kalah mengenaskan bobolnya uang rakyat kepada oknum yang seharusnya untuk memperbaiki kondisi pendidikan, menjadi mengalir sia-sia.
Sementara kenyataan di lapangan, praktek pendidikan seperti tiada perubahan kecuali pendidikan semakin memprihatinkan, meski dipoles dengan beberapa prestasi yang sifatnya perorangan, yang dianggap sebagai prestasi bangsa. Padahal pendidikan bangsa ini telah terpuruk memalukan, seperti tidak pernah diurus oleh pakar pakar pendidikan.
Undang undang guru yang seharusnya menjadi sebuah moment yang semua orang berharap akan adanya pendidikan baru di Indonesia, ternyata belum juga menjadi obat mujarab bagi parahnya pendidikan yang sedang sakit ini. Wallahu alam. Kepesimisan selalu menghantui kita karena setiap kebijaksanaan tak ada yang benar-benar menyentuh kondisi efektif dilapangan. Ibarat orang sakit, pendidikan kita ini bagai orang yang hanya di beri makan sesendok sehari dan itu sudah berlangsung berpuluh puluh tahun. Artinya kondisi sakitnya demikian parah seperti kasus kekurangan pangan anak anak Ethiopia beberapa tahun berlalu. Obat apapun tidak akan bisa langsung menyembuhkan apalagi jika diharapkan dalam waktu yang relatif singkat.
Ada bebarapa faktor mendasar yang diabaikan dalam setiap upaya memperbaharui masalah pendidikan. Faktor yang berada didalam sistem pendidikan itu sendiri sebagai faktor internal, dan faktor sosial masyarakat dan lingkungan lainnya sebagai faktor eksternal yang tidak kalah menentukan untuk mengkondisikan pendidikan baru. Itu semua merupakan mata rantai sistem yang telah membelenggu begitu kuat, sehingga pendidikan sepertinya telah menjadi mahluk kebal terhadap pembaharuan. Demikian istilah pakar pendidikan Pak Winarno Surakhmad.
Faktor-faktor internal dimulai dari proses rekruitmen calon tenaga pendidik. Pada era tahun 60 misalnya mereka yang masuk ke LPTK hanya anak-anak yang mempunyai nilai bagus. Sekarang hanya dengan nilai pas-pasan lolos ke LPTK dan bahkan bisa menjadi guru. Ini baru dari sisi akademik, belum dari sikap dan kepribadian. Tidak heran jika pengalaman penulis ada guru, yang sikapnya lebih kurang sama dengan preman. Anda bisa membayangkan baagimana dia bisa mendidik anak-anak bangsa ini.
Sistem rekruitmen kepegawaian tidak mengindetifisir seleksi yang utuh. Kecuali hanya bersifat akademik saja juga, tidak mempertimbangkan kepribadian dalam praktek di lapangan. Keputusan penerimaan ditentukan di belakang meja semata. Tidak jarang keputusan ditentukan juga melalui tarik menarik dengan dengan kepentingan non paedagogis. Setelah diterima menjadi guru, tidak ada sistem pengembangan karier yang jelas. Lihat banyaknya kepala sekolah atau jabatan lain yang semestinya diduduki oleh mereka yang profesional, justru oleh mereka yang kurang layak integritasnya. Celakanya para birokrat pada umumnya merasa tak ada masalah, merasa bahwa keputusannya sudah paling baik.
Anda bisa mengecek ke lapangan banyak diantara mereka yang mempunyai kedudukan sebagai manajer di bidang pendidikan, tidak tahu apa yang akan diperbuat, tidak tahu apa visi dan misi organisasi apalagi sampai dengan strategi dan program. Bukan kesalahan mereka semata (baca = guru), jika banyak diatara mereka yang menjadi tidak berdaaya oleh karena sistemlah yang membelenggu mereka.
Banyak pekerjaan dan kesulitan guru yang tidak dimaklumi oleh pejabat ( oleh karena memang mereka tidak mau tahu - penulis ). Diperparah pula dengan budaya main perintah tanpa mempertimbangkan nilai dan norma kekependidikan dan profesi guru. Sistem mengkondisikan untuk mereka semakin tidak berdaya. Motivasi kerja guru menjadi sangat lemah, oleh karena antara yang bekerja baik dan tidak sama saja penghargaannya.
Organisasi profesi maupun wadah pengembangan profesional mereka juga hanya sekedar bendera. Biaya –biaya yang dikeluarkan tidak tepat sasaran, hanya untuk sekedar menyelesaikan proyek dalam rangka membuat laporan ke atas. Tentu saja cenderung menumbuhkan penyimpangan yang direstui.
Sementara yang berkembang di masyarakat, jabatan guru belum merupakan jabatan tugas yang diinginkan. Banyak diataranya yang menjadi guru bukan karena cvita ingin menjadi guru, tetapi sekedar pilihan terakhir, daripada tidak jadi apa-apa Dahulu pernah ada pemeo, jika punya menantu jangan guru, gaji guru hanya sebatang ranting cengkeh. ( istilah ketika harga cengkeh sedang masa jaya-jayanya ). Bayangkan jika menjadi guru daripada tidak punya pekerjaan atau jabatan.
Upaya pengembangan profesi guru dicoba dengan melalui ditetapkannya mekanisme kenaikan pangkat dengan sistem angka kredit. Aturan itu pelaksanaannya di lapangan belum mencerminkan keadilan, oleh karena cenderung penilaian administratif dan birokratif. Juklak yang diterbitkan kurang menyerap aspirasi ktritik praktek di lapangan. Seorang guru yang hanya mengerjkan administrasi dengan baiik mudah untuk naik pangkat ketimbang guru yang mendidik dan mengajar anak dengan baik. Demikian juga mekanisme promosi yang ada. Karena seleksi yang dilselenggarakan cenderung administratif dan akademik maka integritas pribadi terkesampingkan. Kebijakan seperti itu cenderung ditentukan di belakang meja.
Dalam masa otonomi daerah guru dan sekolah banyak menjadi sasaran tarik ulur kebijakan dan kepentingan non paedagogis.daripada pengembangan profesinya. Otonomi sekolah yang seharusnya dikembangkan menjadi memrihatinkan. Program sekolah tidak disisusun berdasar potensi dan keinginan ( baca visi dan misi ) warga sekolah, tetapi cenderung banyak sekedar memenuhi aselera atasan.
Salah satu contoh kongkrit adalah pelaksanaan Dana BOS sekolah didikte sampai hal-hal yang sangat tidak prisipiil. Lebih banyak guru tidak konsentrasi mengajar karena bolak-balik harus menyelesaikan SPJ administrasi BOS. Terkadang penggunaan dana untuk sesuatu yang riil saja sulit. Padahal seperti di SD tidak ada tenaga administrasi, jadilah kepala sekolah menugaskan guru untuk otakatik administrasinya. Sampai-sampai ada yang mau terakhir saja setor setelah ada yang berkasn6ya benar.
Proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah lebih memprihatinkan. Kritik utama pendidikan di sekolah dewasa ini adalah : bahwa sekolah telah gagal menyiapkan generasi penerus yang a). mencintai kerja keras b). ulet dan tangguh c). mandiri d).mampu mengembangkan bakat dan potensinya. Sekolah juga telah banyak memasung kreativitas, merampas dunia anak untuk berkembang dengan wajar. Silahkan endus di sekitar kita banyaknya pengamen, pemalak, pak ogah, belum tindak kriminal oleh anak usia sekolah dan pasca sekolah. Adakah kedisiplinan, minimal mencintai pekerjaan yang dilakukan orangtuanya. Menjadi pelopor pengembangan mata pencaharian di desanya. Adakah pemikiran, ide krativitas mereka yang muncul untuk memecahkan masalah dirinya, keluarga atau lingkungannya. Dalam hal demikian format pembelajaran ( baca = pendidikan ) tentu perlu dikaji ulang.
Faktor eksternal menunjuk kepada kenyataan bahwa masih rendahnya apresiasi dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Banyak warga yang lebih rela mengeluarkan uangnya demi rokok, burungperkutut dan sejenisnya daripada untuk pendidikan anaknya. Masyarakat juga sering tidak peduli dengan kondisi lingkungan yang tidak mendukung pendidikan. Aapakah itu komunitas preman, komunitas lokalisasi, lingkungan dimana dengan vulgar perjudian, kekerasan, kemesuman serta jurang pemiah kaya dan miskin yang tajam jelas-jelas berpengaruh terhadap pendidikan nak didik.Masyarakat juga terkondisi tidak menguntungkan bagi pendidikan dimana tripusat pendidikan berjalan sendiiri-senddiri. Mereka lebih beranggapan bahwa prendidikan merupakan tanggungjkawab sekolah semata. Sementara sekolah masih belum berfungsi seperti yang diharapkan oleh karena berbagai macam kekurangan yang masih membelitnya.

Tidak ada komentar: