Rabu, 31 Juli 2013

KPI Pusat mengeluarkan sanksi 8 program siaran Ramadhan di televisi

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan sanksi kepada 8 program siaran Ramadhan di televisi. Menurut Komisioner KPI Pusat Bidang Isi Siaran, Nina Mutmainnah, pelanggaran tersebut kebanyakan dilakukan oleh acara komedi yang disiarkan secara langsung pada saat sahur. "Pelanggarannya sama dengan tahun-tahun sebelumnya," kata dia, Selasa, 30 Juli 2013. 

Delapan siaran yang menerima teguran itu yakni :
-- Sahurnya Pesbukers (ANTV), 
-- Yuk Kita Sahur (Trans TV), 
-- Sahurnya OVJ (Trans 7), 
-- Karnaval Ramadhan (Trans TV), 
-- Hafidz Indonesia (RCTI), 
-- Mengetuk Pintu Hati (SCTV), 
-- Promo Siaran Karnaval Ramadhan (Trans TV), dan 
-- Iklan PT Djarum edisi Ramadhan versi merawat orang tua. 
Nina mengatakan sanksi yang diberikan bersifat administratif yakni berupa teguran tertulis. Komisi juga meminta semua stasiun televisi memperbaiki isi siaran yang dikeluhkan masyarakat. 

Hingga saat ini, KPI Pusat telah menerima 296 pengaduan mengenai tayangan Ramadhan, melalui pesan singkat, email dan Twitter. Menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, ada empat bentuk pelanggaran yang kerap dilakukan acara komedi. Pelanggaran tersebut yakni melecehkan orang dengan kondisi fisik dan pekerjaan tertentu, pelanggaran atas perlindungan anak, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan serta melanggar penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja. 

Nina menyatakan dalam berbagai acara komedi, beberapa adegan tidak pantas ditampilkan di ruang publik. Beberapa adegan yang tidak pantas itu adalah pelemparan tepung atau bedak ke wajah atau kepala, mendorong tanpa alasan jelas, menoyor kepala, menjejalkan sesuatu ke mulut, memukul dengan benda tertentu, hingga aksi mencium ketiak. Selain itu, acara komedi juga kerap menampilkan pemain pria yang berpakaian perempuan dan sebaliknya. Selain itu, banyak acara komedi menghadirkan kuis dengan pertanyaan sepele yang cenderung meremehkan kecerdasan publik. 

KPI Pusat menganggap penyelenggara televisi tidak berniat untuk menampilkan acara komedi yang menghormati bulan Ramadhan, "Karena melakukan pelanggaran yang sama," kata dia. 

Sebenarnya sangat banyak siaran yang justru kontra produktif dengan pendidikan maupun agama dan selama ini sanksinya relatif  terlampau ringan. 

Sumber : Tempo

Jumat, 26 Juli 2013

Kehidupan Modern Membuat Manusia Gampang Marah


Kehidupan modern memang membuat segala hal menjadi lebih mudah. Namun hidup di zaman modern juga membuat manusia menjadi gampang terpicu amarah.
Menurut analisa seorang psikolog dari University of Central Lancashire Dr. Sandi Mann, agresi dan amarah  yang awalnya dimiliki manusia sebagai bagian dari mempertahankan hidup kini telah berubah. Di zaman modern ini, amarah kerap "salah sasaran" dan tidak pada tempatnya.
Alhasil, seseorang bisa marah akibat dipicu hal sepele dan relatif tidak berhubungan dengan penyebab munculnya rasa itu. Rasa marah pun muncul pada momen-momen sepele dan tidak tepat seperti saat menunggu dokter, memakai komputer yang 'lelet,' atau kemacetan lalu lintas. 

Menurut Sandi, kehidupan yang nyaman di zaman modern memanjakan manusia.  Gaya hidup nyaman juga akan memicu harapan yang tinggi. Sedikit ketidaksempurnaan bisa membuat manusia berperilaku 'merajuk' seperti anak kecil.

"Rasa marah sebetulnya menjadi bentuk pertahanan pada nenek moyang kita," kata Mann. Menurutnya, rasa marah ini memancing adanya upaya pertahanan, bila ada yang mencuri makanan dan predator yang mengancam dirinya.  Namun hal tersebut tidak dialami manusia di zaman sekarang.
Seperti yang dilansir The Telegraph,  fokus manusia abad 21 telah berubah. Manusia zaman dulu menggunakan energi yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makan dan perlindungan. Contohnya rasa lapar yang merangsang produksi serotonin. Hormon ini merangsang seeroang untuk mencari makan.

Namun dua kebutuhan dasar tersebut mudah dipenuhi pada abad ini. Akibatnya, motivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut, tidak memiliki penyaluran yang tepat. Motivasi ini kemudian menjadi rasa marah yang timbul sewaktu-waktu.

Marah juga menjadi unsur penting dalam kehidupan sosial. Marah menjadi peringatan pada orang lain, ketika tingkah laku seseorang terasa menyebalkan. 

Mann menyarankan untuk mengendalikan rasa marah yang timbul. Bila rasa marah muncul sebaiknya seseorang berfikir, apakah peristiwa yang memicu marah ini mengancam nyawa? Jika bukan, baiknya amarah dikendalikan.

Manajeman marah 

Agar seseorang tetap sadar saat emosi, perlu ada strategi mengendalikan amarah. Albert Ellis dari Rational Emotive Behaviour Therapy menyediakan strategi mengatasi marah yang disebut metode ABCD :

 A = Activating Situation or Event : Berupaya untuk menganalisa apa yang terjadi
 B = Belief System :  Apa yang dikatakan diri sendiri tentang kejadian tersebut
 C = Consequence: Apa yang dirasakan dari kejadian tersebut berdasarkan keyakinan Anda
 D = Dispute :   Bandingkan antara keyakinan dan harapan. Apakah harapan tersebut realistis atau irasional . Bila harapan terlalu tinggi dan tak seseuai kenyataan, tentu seseorang tak bisa marah.

10 hal yang sering memicu emosi :

1. Mengantre lama untuk berkonsultasi dengan dokter
2. Kemacetan
3. Angkutan umum yang penuh
4. Bercanda dengan topik sensitive
5. Teman yang tidak kunjung membayar utang
6. Dituduh bersalah
7. Harus membersihkan apa yang diperbuat orang lain
8. Menunggu lama di telepon
9. Diberi petunjuk yang salah
10. Kehilangan uang atau harta


Sumber : www.dailymail.co.uk

Kamis, 04 Juli 2013

TERIMA KASIH KAU JADIKAN AKU IBU

Kisah yang saya tulis ini adalah kisah yang dialami istri saat melahirkan anak kami yang pertama. Saya tulis sesuai dengan apa yang dia tuturkan kepada saya.
“Tekanan darahnya tinggi sekali bu…140/90.” dr. Indrarta melepas alat pengukur tekanan darah dari lenganku, “Kalau naik lagi, operasi ya…”
-----
Break : Ingin melihat liputan live Masjidil Haram klik disini
----
Aku turun dari ranjang periksa dan duduk di sebelah mas Dian, suamiku yang memandangiku khawatir. Sejak kehamilan tujuh bulan, tekanan darahku cenderung tinggi. Saat itu adalah periksa kehamilan untuk bulan kedelapan. Sambil mencoret-coret (aku lebih suka menggunakan istilah mencoret daripada menulis) resep, dr. Indrarta menerangkan kepada kami bahwa gejala fisik yang aku alami menunjukkan gejala awal keracunan bayi.
”Keracunan bayi itu maksudnya apa dok?” Mas Dian menunggu jawaban dengan pandangan cemas.
Dokter Indrarta menjelaskan bahwa keracunan bayi adalah reaksi tubuh seorang ibu yang tidak bisa menerima bayi yang dikandungnya. Gejala awalnya berupa kaki yang bengkak dan tekanan darah tinggi. Bila tekanan darah terus naik, maka akan menyebabkan kejang-kejang yang berakibat fatal bagi jiwa sang ibu. Mendengar jawaban dokter, mas Dian tampak semakin cemas.
Kami pulang naik motor sambil diam sepanjang perjalanan. Sebenarnya sejak awal kehamilan aku sudah stres membayangkan proses persalinan yang menyakitkan. Semakin mendekati waktu melahirkan hatiku semakin kalut, ketakutan. Entah kenapa segala nasihat dari ibuku, ibu mertua, dan beberapa orang yang berpengalaman melahirkan, bahwa proses persalinan itu sakit tetapi indah dan tidak perlu ditakuti, tidak bisa menenangkanku. Yang terbayang hanyalah kesakitan yang akan aku alami saat berusaha mengeluarkan bayiku melalui jalan lahir.
Sesampai di rumah, setelah berganti baju, aku merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata. Seperti tahu apa yang berkecamuk di kepala dan hatiku, dengan pandangan cemas mas Dian duduk di sebelahku dan membelai kepalaku, ”Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, Dik...Pasrahkan saja semua kepada Allah.”
Aku hanya tersenyum, tetapi dalam hati aku nggerundel, ”Enak aja kalau ngomong. Mas Dian nggak merasakan dan tidak akan pernah bisa merasakan yang aku alami dan akan aku alami sich..!”

Tanggal sebelas November tahun 1998, hari prediksi waktuku melahirkan. Dini hari aku merasa seperti ngompol, banyak sekali cairan yang keluar. Aku sampaikan ke ibuku yang sudah dua minggu ini menginap di rumahku dan selalu menemaniku tidur. Memang terasa lain, saat-saat seperti ini, saat menunggu sesuatu yang menakutkan, bila ditemani ibu hatiku sedikit lebih tenang. Ibuku mengatakan bahwa air ketubanku sudah pecah dan sudah waktunya melahirkan. Aku segera membersihkan diri, berwudlu dan Sholat shubuh. Tas perbekalan sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Setelah Sholat subuh, aku, ibu, dan adikku berangkat ke Rumah Sakit Asrama Haji Sukolilo, sementara mas Dian menyusul naik motor.
Sesampai di Rumah Sakit, aku langsung masuk ke ruangan bersalin. Sayang sekali, kebijakan Rumah Sakit melarang selain yang akan melahirkan memasuki ruangan. Ibu, adik dan mas Dian harus menunggu di luar. Ruangan bersalin berupa ruangan besar yang terdiri dari beberapa ranjang yang disekat kelambu putih satu sama lain. Saat aku masuk, sudah ada beberapa ibu hamil yang berbaring di ranjang.
”Baru pembukaan tiga, bu, dipakai jalan-jalan saja biar cepat pembukaannya.” Aku turun dari ranjang dan jalan-jalan mengitari ranjang.
Terdengar teriakan kesakitan dari seorang ibu tak jauh dari tempatku berdiri. Penasaran aku mengintip, rupanya dia sedang dalam proses melahirkan. Dua suster mendampinginya di kiri dan kanan, menuntunnya mengatur pernafasan dan membersihkan keringatnya, sementara seseorang yang kukira seorang dokter menuntunnya dari sela-sela kakinya. Setelah mengerang, menjerit beberapa kali, akhirnya bayi mungil lahir. Aku ikut senang menyaksikannya, tetapi teriakan-teriakan kesakitan yang mengiringi lahirnya bayi membuatku semakin ketakutan. Keringat dingin membasahi muka dan telapak tanganku. Aku terduduk di pinggir ranjang. Kuusap-usap perut buncitku yang sudah terasa sakit sejak masuk ruangan. Di dalamnya terdapat makhluk mungil, makhluk yang sangat ingin segera kulihat wujudnya. Ciptaan Allah yang berkembang selama sembilan bulan di dalam tubuhku. Makan makanan yang kumakan. Membayangkan kelak mulut mungilnya memanggilku ibu menghasilkan perasaan lain di hatiku. Perlahan perutku terasa hangat meskipun sakitnya tidak berkurang bahkan bertambah. Kehangatan dari perut menjalar ke seluruh tubuhku. Membayangkan akan menjadi seorang ibu, menjadi tumpuan kasih sayang seorang anak, mendatangkan ketegaran di hatiku, dan ketenangan. Dalam ketenangan aku teringat pesan mas Dian bahwa dalam keadaan sulit sebaiknya membaca “Laa haula wala quwwata Illa billa hil ‘aliyyil Adziim”. Akupun mulai berdzikir, dan pelan tapi pasti ketenangan di hatiku semakin menguat, dan kekhawatiran berangsur memudar.

Tanggal sebelas November tahun 1998, sekitar jam dua belas siang pembukaanku sudah lengkap. Sakit perut yang kurasakan adalah kesakitan yang amat sangat yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti yang dialami oleh beberapa ibu yang sudah melahirkan sejak pagi tadi, aku juga didampingi oleh beberapa suster dan Dr. Indrarta. Aku membayangkan betapa bahagianya bila mas Dian dan ibuku juga boleh mendampingiku.
Dua jam sudah sejak pembukaanku lengkap, anakku tak kunjung mau keluar. Cairan ketubanku sudah habis, dan darah juga sudah banyak keluar. Tenagaku semakin habis, lemas. Aku benar-benar merasa pasrah kepada Allah. Bagiku sekarang hanya kuasa Allah yang bisa membantuku. Sambil mengusap peluh di keningnya, Dr. Indrarta keluar meninggalkan ruangan. Di kemudian hari aku tahu bahwa Dr. Indrarta keluar untuk meminta tanda tangan Mas Dian untuk izin melakukan operasi. Sekembalinya ke ruangan, Dr. Indrarta memberikan instruksi ke para perawat yang tidak bisa kudengar, kemudian mendekatiku, “ Sudah Bu, terlalu banyak darah yang keluar, saya tidak mau ambil resiko, bayinya harus dikeluarkan lewat atas.” Aku mengangguk lemas. Aku benar-benar pasrah. Aku ikhlas bila memang saat itu sudah waktunya Allah memanggilku. Hanya aku sangat berharap Allah memberi kesempatan anakku terlahir ke dunia dan menikmati kehidupan. Dan aku bisa melihatnya meskipun sebentar. Aku dipindahkan dari ruang bersalin ke ruang operasi. Di luar mas Dian sempat menghampiriku, memandangku dengan tatapan cemas dan penuh harap, “Tawaqqal Dik…” Aku hanya mengangguk lemas.
Di ruang operasi sudah siap beberapa perangkat operasi. Dari dada ke bawah aku ditutupi kain sehingga aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan dokter. Setelah obat bius lokal bekerja, operasi dimulai. Kira-kira empat puluh lima menit kemudian anakku berhasil dikeluarkan.
“Laki-laki, Bu, sehat dan normal...” Seorang suster menunjukkan seorang bayi yang masih belepotan darah. Mendengar bahwa anakku berhasil terlahir dengan sehat dan normal, aku merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Aku meneteskan air mata haru, betapa cintanya ALLOH kepadaku. Kebahagiaan yang tidak ternilai, bahkan bila dibandingkan dengan ketidaknyamanan, kekhawatiran, ketakutan, kesakitan yang kurasakan sejak awal kehamilan sampai melahirkan, semuanya tidak ada artinya, terhapus oleh kebahagian yang melimpah ruah.
Terima kasih ya Allah. Kau jadikan aku seorang ibu...
Mohon bimbingan dan petunjuk-MU agar aku bisa memegang amanah mendidiknya menjadi anak yang sholih.

Sumber : herlanlesmana26.blogspot.com
Dari Kisah Nyata_ NM. Dian dan  Wulan